Pages

Jumat, 25 Januari 2013

Benci tapi Rindu #Java Jazz

Tak sengaja mendengar iklan di radio, Java Jazz 2013 bakal digelar kembali Maret 2013 mendatang. Sudah setahun saya absen tak menengok perhelatan besar itu. Setelah pengalaman buruk di 2011 lampau, saya pun melewatkan Java Jazz 2012. Hmmm..tapi rasanya tahun ini Saya tak ingin melewatkannya lagi.
Teringat tulisan saya yang pernah jadi HL di Kompasiana. Ekspresi kecewa atas sikap panitia Java Jazz 2011. Saya bagikan di blog ini..Bukan untuk menyumbang stereotype, namun sekedar untuk bepegang bahwa hal yang sama tak terulang lagi tahun ini.. Finger Cross

http://hiburan.kompasiana.com/musik/2011/03/05/setitik-nila-di-javajazz-2011-345238.html
Setitik Nila di JavaJazz 2011
http://m.dreamersradio.com/article/3869
Tahun ini saya kembali berkesempatan menjejak arena JIExpo Kemayoran dan menikmati JavaJazz 2011.

Yah meski kategorinya event internasional, tetap saja, saya memilih menikmati musisi-musisi lokal yang otak saya sanggup mencerna. Jadilah, di festival kelas dunia tersebut saya menikmati The Groove, Tompi, Marcell, dan BeniLikumahuaProject.

Tak sedikitpun keinginan membuang ratusan ribu tiket tambahan untuk nonton Santana atau pun George Benson di special performance. Saya cukup puas dengan musisi-musisi lokal yang jazz-nya bisa saya tangkap.

Sayang beribu sayang di event kelas dunia tersebut, panitia penyelenggara nampak terlalu cari untung. Tak menunjukkan apresiasi pada penonton yang telah merogoh kocek cukup dalam (untuk kategori rata-rata penghasilan di Indonesia), dan menempatkan panitia-panitia yang sebagian besar anak muda usia 20-30thn dengan sikap besar kepala. Over all saya menyebut sikap panitia JavaJazz Festival arogan.

Sejak masuk ke area parkir, saya sudah dibuat berputar-putar tanpa arah yang jelas. Petugas parkir nyaris tak tampak batang hidungnya.

Setelah kelelahan di area parkir, kejadian tidak pantas kembali terjadi. Di pintu masuk, setiap pengunjung diperiksa. Seorang panitia perempuan berusia sekitar 20thn pun memeriksa tas saya. Dia menemukan aqua dan roti yang kebetulan memang selalu ada di tas (karena saya punya penyakit magh akut). Seketika itu juga, dia mengambil kedua barang tersebut dan dilemparkan ke dalam kantong sampah besar sembari berkata “kaya gini gak boleh dibawa masuk”!

Kontan, saya kaget. Ketika saya protes, “kok gitu caranya?”. Dengan ketus dia menjawab, “ada tulisannya di tiket, dibaca tiketnya!” Dengan nada seolah saya anak SD yang tak lulus kejar paket A.

Baiklah, saya terima jika memang tidak boleh membawa makanan dan minuman dalam area. Tapi cara panitia tersebut sangat tidak pantas. Dia merenggut barang pribadi saya dan mencampakkannya dalam kantong sampah tanpa meminta persetujuan dari saya.

Bagaimana jika saya memilih menyelamatkan makanan dan minuman saya dan batal masuk? Bagaimana jika saya memilih untuk balik, dan menyimpan dulu bawaan saya di mobil? Atau minimal, jika panitia cukup cerdas, dia bisa menawarkan saya utk menghabiskannya dulu di luar sebelum masuk ke dalam. Sungguh sangat arogan dan menyinggung perasaan. Dia mengambil begitu saja barang milik orang lain tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan.

Tapi saya tak mau berdebat, saya hanya mengatakan “tolong jangan dibuang, berikan saja pada yang membutuhkan,”. Dan lagi-lagi, panitia tersebut dengan tidak simpatik menjawab, “di tiket ada tulisannya!”. Akhirnya saya menjawab, “Saya hanya tidak mau makanan tersebut mubazir, jadi berikan pada yang membutuhkan. Ngerti!”. Baru setelah itu, gadis panitia besar kepala bergaya alay tersebut menyumpal mulutnya.

Saya tidak buta huruf, anak muda. Saya memang tidak bisa mengingat segala ketentuan di tiket yang termuat dalam poin a hingga u tersebut. Ya, 21 poin syarat dan aturan jika Anda semua ingin nonton JavaJazz.

foto dengan om Santana dulu biar gak dongkol terus..
Uupss...thn 2011 saya belum berjilbab :(

Cobaan bagi penonton tak berhenti di situ. Begitu memasuki area JavaJazz, Saya celingukan mencari daftar panggung, hall, dan jadwal pertunjukkan. Ahh, rupanya untuk mengetahui segala informasi tersebut pengunjung harus berdesakan di stand-stand informasi yang menempelkan selembar jadwal dan lokasi pertunjukan dalam sehelai kertas A4 alias kuarto. Kalau Anda pengen memiliki jadwal sendiri plus sebuah bulletin (yang dugaan saya isinya full iklan), barterlah dengan selembar Rp50 ribuan!

Padahal tahun lalu, jadwal acara dan lokasi pertunjukkan dipajang dalam spanduk besar yang dipasang di depan hall. Sementara tahun ini? kesasar, kesasar deh lu..

Rupanya tak cukup memaksa pengunjung membeli makanan di dalam (yang sebagian besar pembeliannya harus menggunakan voucher BNI dengan harga makanan dua hingga tiga kali lipat pedagang di luar arena), panitia juga sengaja membuat sistem ‘jualan’ informasi kalau tak mau kesasar. Info denah yang dipasang di beberapa titik pun tak banyak membantu. Kecil-kecil dengan kualitas print naudzubilah, huruf yang menandakan nomor lokasi stand exhibition pun tak terbaca oleh mata sehat sekali pun.

Saran saya, bawa bekal yang cukup lalu makanlah di depan petugas sebelum masuk ke arena konser dan jangan lupa print out sendiri jadwal acara dari internet. Tapi jangan harap schedule acara bisa berjalan persis sama dengan di jam yang tercantum dalam rundown.

Untunglah penampilan para musisi tak terpengaruh oleh cela dari kelakuan minor para panitia. Tapi bukankah nila setitik bisa merusak susu sebelanga?

1 komentar: